PBSID FKIP UMS

Selasa, 14 Februari 2012

Sihir Iklan


            Belakangan ini iklan makin mirip dengan nenek sihir, datang secara mendadak dan bergegas menyebarkan mantra. Kita pun terpesona dan kebanyakan terpedaya olehnya tanpa bisa memberontak. Akibatnya, hidup ini terasa tidak lengkap tanpa adanya sentuhan iklan. Iklan dalam berbagai penampilan, bisa kita dapati di mana saja, di pinggir jalan, di stasiun kereta api, di hotel mewah, di media massa dan lain-lain. Tanpa kita sadari iklan sudah menjadi berhala modern. Sementara itu, tidak jarang pula kita dibuat jengkel oleh iklan yang sering muncul ketika kita sedang asyik menonton televisi.  
Kehadiran  iklan  sekarang begitu  mengguncang. Iklan bukan hanya sekadar promosi  sebuah  produk,  tetapi  telah menjadi sebuah sistem ide yang memiliki  nilai-nilainya sendiri secara otonom. Iklan menjelma menjadi sebuah  ideologi  di abad modern. Apa yang kita rasakan sebagai “citra baru”  dari  produk-produk  seperti Coca-Cola, Marlboro, atau Kentucky Fried  Chicken  tidak dapat dipisahkan dari jasa iklan, yang membangun selera  ekstra.  Iklan  membawa  kita pada suatu suasana yang dibangun pada moment tertentu dalam ingatan kita lewat bahasa yang puitis.
Kita  boleh  menyangkal dengan berbagai pembelaan dan motivasi politis bahwa kita membeli barang tertentu bukan karena iklan. Tetapi dalam sistem ingatan seseorang  sedikit  banyak  mesti  hadir  di  saat seseorang menemukan barang  yang pernah diiklankan. Rasa bersalah yang timbul setelah kita membeli  barang,  kalaupun  ternyata  tidak  sesuai  dengan  “rekayasa imajinasi”,  hanya  melahirkan  sikap sublimasi pada diri sendiri dan bukan  pada  barang, apalagi  pada  “liciknya”  pengaruh sihir yang dibangun  iklan.  Pada  era  modern  seperti sekarang, seseorang tidak mungkin  berada  dalam  vacum  idea” saat  melihat  barang  yang akan dibelinya.  Iklan  memiliki  semacam  alat sensor, bisa berupa tafsir, dugaan, propaganda liris, ataupun tuduhan terhadap barang tertentu.
Iklan  sebagai  fenomena  budaya  dalam  konteks  modern  harus dipahami  ulang karena peranannya sebagai ideologi cukup mencengkeram. Untuk  memahami  perkembangan periklanan, sekaligus menangkap kekuatan makna   yang  “bersinar-sinar”  seperti  terlihat  dewasa  ini,  orang sebaiknya  menelusuri  sejarah budaya iklan itu sendiri. Lebih lanjut, orang  dapat  mulai menyesuaikan diri dengan fungsi-fungsi kontemporer yang  dihasilkan  dengan  sangat  subtil  dan  imajinatif  oleh  iklan sehingga  terasa  seolah-olah  tanpa agresivitas dan paksaan. Kebudayaan  yang  menjadi  corong kepentingan   kapitalisme   dalam   sistem  perdagangan  barang  hanya menggunakan  sihir  iklan  untuk fungsi penandaan nilai komoditas. Ini sebuah  ciri bahwa kepentingan produksi budaya kapitalisme hanya untuk sebuah politik konsumsi pasif, tidak eksploratif, apalagi kreatif.
Dari  sekadar  proses  khusus  untuk  menarik  perhatian  dan  memberi informasi  iklan berkembang pesat menjadi sistem penyampaian informasi komersial pun pemberian saran-saran dan harapan yang terlembaga secara baik. Dalam sejarah masyarakat Inggris penyebaran informasi yang lebih terorganisasi  dimulai  pada  abad  ke  17  sejalan dengan perkembangan buku-buku  berita,  merkuri,  dan  surat kabar. Laju pertumbuhan surat kabar  dari 1690-an juga membuat volume periklanan bertambah. Sebagian besar masih diklasifikasi menurut jenis dalam seksi reguler koran atau majalah,   dan  ada  pula  yang  diberi  ilustrasi.  Bahan-bahan  yang diiklankan  tergantung  pada  apa  yang  dibutuhkan atau ditawarkan ke publik,  seperti  penjualan  komoditi di toko-toko tertentu, pelayanan personal,  pengumuman publikasi buku-buku, detil tentang pembantu yang melarikan diri, sampai penjualan kuda atau anjing.
Revolusi  industri,  sekaligus hubungannya dengan revolusi komunikasi, secara  fundamental  mengubah  sifat  dasar iklan. Lahirnya perusahaan dengan  produksi  skala  besar  membutuhkan  strategi  penjualan  yang berbeda.  Hadirnya  media  massa  cetak yang membutuhkan iklan sebagai sumber   pemasukan   terbesarnya  menjadi  cukup  penting sehingga produksi iklan meluas.
Depresi  terbesar dalam dunia periklanan akibat kejatuhan harga barang yang  luar biasa terjadi pada periode 1875 hingga 1890-an. Bencana ini menjadi  titik  tolak  baru  untuk  mereorganisasi industri kepemilikan menjadi   lebih   besar   dan   mengkombinasikannya  dengan  keinginan pertumbuhan  pangsa  yang  lebih  besar pula. Hal itu dimaksudkan agar dapat  mengkontrol  pasar  jika  sewaktu-waktu  mengalami  depresi dan kegoncangan  finansial  secara  luas.  Saat  itulah bisnis iklan tidak hanya  menjadi bisnis tempelan, namun berubah menjadi bisnis baru yang mengambil tempat cukup penting di bidang produksi dan digunakan setiap pemilik modal untuk meningkatkan rangking produksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar