Belakangan ini iklan makin mirip dengan nenek sihir, datang secara mendadak dan bergegas menyebarkan mantra. Kita pun terpesona dan kebanyakan terpedaya olehnya tanpa bisa memberontak. Akibatnya, hidup ini terasa tidak lengkap tanpa adanya sentuhan iklan. Iklan dalam berbagai penampilan, bisa kita dapati di mana saja, di pinggir jalan, di stasiun kereta api, di hotel mewah, di media massa dan lain-lain. Tanpa kita sadari iklan sudah menjadi berhala modern. Sementara itu, tidak jarang pula kita dibuat jengkel oleh iklan yang sering muncul ketika kita sedang asyik menonton televisi.
Kehadiran iklan sekarang begitu mengguncang. Iklan bukan hanya sekadar promosi sebuah produk, tetapi telah menjadi sebuah sistem ide yang memiliki nilai-nilainya sendiri secara otonom. Iklan menjelma menjadi sebuah ideologi di abad modern. Apa yang kita rasakan sebagai “citra baru” dari produk-produk seperti Coca-Cola, Marlboro, atau Kentucky Fried Chicken tidak dapat dipisahkan dari jasa iklan, yang membangun selera ekstra. Iklan membawa kita pada suatu suasana yang dibangun pada moment tertentu dalam ingatan kita lewat bahasa yang puitis.
Kita boleh menyangkal dengan berbagai pembelaan dan motivasi politis bahwa kita membeli barang tertentu bukan karena iklan. Tetapi dalam sistem ingatan seseorang sedikit banyak mesti hadir di saat seseorang menemukan barang yang pernah diiklankan. Rasa bersalah yang timbul setelah kita membeli barang, kalaupun ternyata tidak sesuai dengan “rekayasa imajinasi”, hanya melahirkan sikap sublimasi pada diri sendiri dan bukan pada barang, apalagi pada “liciknya” pengaruh sihir yang dibangun iklan. Pada era modern seperti sekarang, seseorang tidak mungkin berada dalam ”vacum idea” saat melihat barang yang akan dibelinya. Iklan memiliki semacam alat sensor, bisa berupa tafsir, dugaan, propaganda liris, ataupun tuduhan terhadap barang tertentu.
Iklan sebagai fenomena budaya dalam konteks modern harus dipahami ulang karena peranannya sebagai ideologi cukup mencengkeram. Untuk memahami perkembangan periklanan, sekaligus menangkap kekuatan makna yang “bersinar-sinar” seperti terlihat dewasa ini, orang sebaiknya menelusuri sejarah budaya iklan itu sendiri. Lebih lanjut, orang dapat mulai menyesuaikan diri dengan fungsi-fungsi kontemporer yang dihasilkan dengan sangat subtil dan imajinatif oleh iklan sehingga terasa seolah-olah tanpa agresivitas dan paksaan. Kebudayaan yang menjadi corong kepentingan kapitalisme dalam sistem perdagangan barang hanya menggunakan sihir iklan untuk fungsi penandaan nilai komoditas. Ini sebuah ciri bahwa kepentingan produksi budaya kapitalisme hanya untuk sebuah politik konsumsi pasif, tidak eksploratif, apalagi kreatif.
Dari sekadar proses khusus untuk menarik perhatian dan memberi informasi iklan berkembang pesat menjadi sistem penyampaian informasi komersial pun pemberian saran-saran dan harapan yang terlembaga secara baik. Dalam sejarah masyarakat Inggris penyebaran informasi yang lebih terorganisasi dimulai pada abad ke 17 sejalan dengan perkembangan buku-buku berita, merkuri, dan surat kabar. Laju pertumbuhan surat kabar dari 1690-an juga membuat volume periklanan bertambah. Sebagian besar masih diklasifikasi menurut jenis dalam seksi reguler koran atau majalah, dan ada pula yang diberi ilustrasi. Bahan-bahan yang diiklankan tergantung pada apa yang dibutuhkan atau ditawarkan ke publik, seperti penjualan komoditi di toko-toko tertentu, pelayanan personal, pengumuman publikasi buku-buku, detil tentang pembantu yang melarikan diri, sampai penjualan kuda atau anjing.
Revolusi industri, sekaligus hubungannya dengan revolusi komunikasi, secara fundamental mengubah sifat dasar iklan. Lahirnya perusahaan dengan produksi skala besar membutuhkan strategi penjualan yang berbeda. Hadirnya media massa cetak yang membutuhkan iklan sebagai sumber pemasukan terbesarnya menjadi cukup penting sehingga produksi iklan meluas.
Depresi terbesar dalam dunia periklanan akibat kejatuhan harga barang yang luar biasa terjadi pada periode 1875 hingga 1890-an. Bencana ini menjadi titik tolak baru untuk mereorganisasi industri kepemilikan menjadi lebih besar dan mengkombinasikannya dengan keinginan pertumbuhan pangsa yang lebih besar pula. Hal itu dimaksudkan agar dapat mengkontrol pasar jika sewaktu-waktu mengalami depresi dan kegoncangan finansial secara luas. Saat itulah bisnis iklan tidak hanya menjadi bisnis tempelan, namun berubah menjadi bisnis baru yang mengambil tempat cukup penting di bidang produksi dan digunakan setiap pemilik modal untuk meningkatkan rangking produksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar