PBSID FKIP UMS

Sabtu, 11 Februari 2012

Wanita atau Perempuan




Mengapa dua kata atau lebih yang denotasinya sama dapat mempunyai nilai rasa yang berbeda? Hal ini berkaitan erat dengan pandangan masyarakat berdasarkan nilai-nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat itu (Chaer, 1990: 68). Kata-kata tertentu memperoleh tambahan nilai rasa dalam pemakaiannya.
Kata dalam bahasa Indonesia dapat mengalami pergeseran makna, di antaranya amelioratif dan peyoratif. Amelioratif adalah pergeseran makna kata yang memperoleh tambahan nilai rasa, sedangkan peyoratif adalah pergeseran makna kata yang nilai rasanya berkurang. Pergeseran makna yang diberikan pada suatu kata dapat terjadi sebagai akibat peristiwa sejarah.
Kata “wanita” dapat dikatakan sebagai kata yang mengalami pergeseran makna amelioratif sehingga dalam pemakaiannya mendesak kata “perempuan” mempunyai beberapa alasan, yaitu:(1) wanita merupakan bentuk eufimisme dari perempuan; (2) Kata kewanitaan, yang diturunkan dari wanita, berarti 'keputrian' atau 'sifat-sifat khas wanita'. Sebagai putri (wanita di lingkungan keraton), setiap wanita diharapkan masyarakatnya untuk meniru sikap laku, gaya tutur, para putri keraton, yang senantiasa lemah gemulai, sabar, halus, tunduk, patuh, mendukung, mendampingi, mengabdi, dan menyenangkan pria. Dengan kata wanita, benar-benar dihindari nuansa 'memprotes', 'memimpin', 'menuntut', 'menyaingi', 'memberontak', 'menentang', 'melawan'. Maka, bisa dimengerti bahwa yang muncul dipilih sebagai nama organisasi wanita bergengsi nasional adalah "Darma Wanita", sebab di sinilah kaum wanita berdarma, berbakti, mengabdikan dirinya pada lembaga tempat suaminya bekerja. Maka, program kerjanya pun harus selalu mendukung tugas-tugas dan jabatan suami; dan (3) Berdasarkan etimologi rakyat Jawa (folk etimology, jarwodoso atau keratabasa, kata wanita dipersepsi secara kultural sebagai 'wani ditoto'; terjemahan leksikalnya 'berani diatur'; terjemahan kontekstualnya 'bersedia diatur'; terjemahan gampangnya 'tunduklah pada suami' atau 'jangan melawan pria'. Dalam hal ini wanita dianggap mulia bila tunduk dan patuh pada pria. Sering ada ungkapan "pejah gesang kula ndherek" (hidup atau mati, aku akan ikut suami), "swargo nunut, neraka katut" (suami masuk surga aku numpang, suami masuk neraka aku terbawa). Ternyata anggapan Jawa ini merasuk kuat dalam bahasa Indonesia. Kesetiaan wanita dinilai tinggi, dan soal kemandirian wanita tidak ada dalam kamus. Karenanya, dalam bahasa Indonesia kata wanita bernilai lebih tinggi sebab, kata Ben Anderson (1966), bahasa Indonesia mengalami "jawanisasi" atau "kramanisasi": kulitnya saja bahasa Melayu yang egaliter, tetapi rohnya bahasa Jawa yang feodal itu.
Dengan demikian, untuk sementara bisa segera ditarik kata simpul: wanita berarti 'manusia yang bersikap halus, mengabdi setia pada tugas-tugas suami'. Suka atau tidak, inilah tugas dan lelakon yang harus dijalankan wanita. Apakah memang demikian?
Jika kata ”wanita” dikatakan sebagai kata yang mengalami pergeseran makna amelioratif, maka  kata ”perempuan” mengalami pergeseran makna peyoratif. Slamet Mulyono (1964: 32) menerangkan bahwa kemerosotan kata ”perempuan” menurut pandangan orang Indonesia terutama disebabkan pemakaiannya pada zaman pendudukan tentara Jepang. Kata ”perempuan” bagi mereka sama nilainya dengan kata ”pelacur”. Sejak itu kata perempuan tidak disukai lagi oleh masyarakat pemakai bahasa Indonesia. Jika kata itu masih digunakan, maka pemakainya semata-mata diperuntukkan menunjuk jenis kelamin.
Seiring perkembangan zaman, ternyata anggapan tersebut bergeser. Sekarang kata ”perempuan” justru dianggap sebagai kata yang mengalami pergeseran makna amelioratif dan kata ”wanita” yang mengalami pergeseran makna peyoratif. Hal ini terlihat dari penggunaan istilah yang digunakan dalam kementerian negara yang mengalami perubahan nama. Ketika masa orba kita mengenal Menteri Peranan Wanita, yang sekarang kita kenal dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan.
Pandangan yang cukup menyakitkan, yakni bahwa kata wanita bukanlah produk kata asli (induk). Kata ini hanyalah merupakan hasil akhir dari proses panjang perubahan bunyi (yang dalam studi linguistik sering disebut gejala bahasa metatesis) dan proses perubahan kontoid dari kata betina. Urutan prosesnya demikian: mula-mula kata betina menjadi batina; kata batina berubah melalui proses metatesis menjadi banita; kata banita mengalami proses perubahan bunyi konsonan (kontoid) dari [b]-->[w] sehingga menjadi wanita. Maka, memang aneh bin ajaib, bahwa kata yang demikian kita hormati, bahkan kita letakkan pada tempat tinggi di atas kata perempuan ini, ternyata berasal dari kata rendah betina.
Alasan kata ”perempuan” dikatakan bernilai rasa tinggi, yakni: (1) Secara etimologis, kata perempuan berasal dari kata empu yang berarti 'tuan', 'orang yang mahir/berkuasa', ataupun 'kepala', 'hulu', atau 'yang paling besar'; maka, kita kenal kata empu jari 'ibu jari', empu gending 'orang yang mahir mencipta tembang'; (2) Kata perempuan juga berhubungan dengan kata ampu 'sokong', 'memerintah', 'penyangga', 'penjaga keselamatan', bahkan 'wali'; kata mengampu artinya 'menahan agar tak jatuh' atau 'menyokong agar tidak runtuh'; kata mengampukan berarti 'memerintah (negeri)'; ada lagi pengampu 'penahan, penyangga, penyelamat'; (3) Kata perempuan juga berakar erat dari kata empuan; kata ini mengalami pemendekan menjadi puan yang artinya 'sapaan hormat pada perempuan', sebagai pasangan kata tuan 'sapaan hormat pada lelaki'.
Hal ini tidak perlu dijadikan bahan perdebatan, karena bahasa bersifat dinamis, maka sebuah kata yang pada masa tertentu sudah dianggap bernilai rasa positif atau tinggi dalam perkembangannya bisa saja tidak dirasakan lagi konotasi tinggi itu.
Nilai rasa bersifat subjektif, ditetapkan oleh masyarakat pemakai bahasa. Dengan sendirinya, jika suasana zaman atau suasana kehidupan kemasyarakatan itu berubah, maka nilai rasa bahasa yang digunakan juga berubah.

1 komentar: