Mengapa dua kata atau lebih yang denotasinya sama dapat mempunyai
nilai rasa yang berbeda? Hal ini berkaitan erat dengan pandangan masyarakat
berdasarkan nilai-nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat itu (Chaer,
1990: 68). Kata-kata tertentu memperoleh tambahan nilai rasa dalam
pemakaiannya.
Kata dalam bahasa Indonesia dapat mengalami pergeseran makna, di
antaranya amelioratif dan peyoratif. Amelioratif adalah pergeseran makna kata
yang memperoleh tambahan nilai rasa, sedangkan peyoratif adalah pergeseran
makna kata yang nilai rasanya berkurang. Pergeseran makna yang diberikan pada
suatu kata dapat terjadi sebagai akibat peristiwa sejarah.
Kata “wanita” dapat dikatakan sebagai kata yang mengalami pergeseran
makna amelioratif sehingga dalam pemakaiannya mendesak kata “perempuan”
mempunyai beberapa alasan, yaitu:(1) wanita merupakan bentuk eufimisme dari
perempuan; (2) Kata kewanitaan, yang diturunkan dari wanita,
berarti 'keputrian' atau 'sifat-sifat khas wanita'. Sebagai putri (wanita di
lingkungan keraton), setiap wanita diharapkan masyarakatnya untuk meniru sikap
laku, gaya
tutur, para putri keraton, yang senantiasa lemah gemulai, sabar, halus, tunduk,
patuh, mendukung, mendampingi, mengabdi, dan menyenangkan pria. Dengan kata wanita,
benar-benar dihindari nuansa 'memprotes', 'memimpin', 'menuntut', 'menyaingi',
'memberontak', 'menentang', 'melawan'. Maka, bisa dimengerti bahwa yang muncul
dipilih sebagai nama organisasi wanita bergengsi nasional adalah "Darma
Wanita", sebab di sinilah kaum wanita berdarma, berbakti, mengabdikan
dirinya pada lembaga tempat suaminya bekerja. Maka, program kerjanya pun harus
selalu mendukung tugas-tugas dan jabatan suami; dan (3) Berdasarkan etimologi
rakyat Jawa (folk etimology,
jarwodoso atau keratabasa, kata wanita dipersepsi secara kultural
sebagai 'wani ditoto'; terjemahan leksikalnya 'berani diatur'; terjemahan
kontekstualnya 'bersedia diatur'; terjemahan gampangnya 'tunduklah pada suami'
atau 'jangan melawan pria'. Dalam hal ini wanita dianggap mulia bila tunduk dan
patuh pada pria. Sering ada ungkapan "pejah gesang kula ndherek"
(hidup atau mati, aku akan ikut suami), "swargo nunut, neraka katut"
(suami masuk surga aku numpang, suami masuk neraka aku terbawa). Ternyata
anggapan Jawa ini merasuk kuat dalam bahasa Indonesia. Kesetiaan wanita dinilai
tinggi, dan soal kemandirian wanita tidak ada dalam kamus. Karenanya, dalam
bahasa Indonesia kata wanita bernilai lebih tinggi sebab, kata Ben Anderson
(1966), bahasa Indonesia mengalami "jawanisasi" atau
"kramanisasi": kulitnya saja bahasa Melayu yang egaliter, tetapi rohnya
bahasa Jawa yang feodal itu.
Dengan demikian, untuk sementara bisa segera ditarik kata simpul: wanita
berarti 'manusia yang bersikap halus, mengabdi setia pada tugas-tugas suami'.
Suka atau tidak, inilah tugas dan lelakon yang harus dijalankan wanita. Apakah
memang demikian?
Jika kata ”wanita” dikatakan sebagai kata yang mengalami pergeseran
makna amelioratif, maka kata ”perempuan”
mengalami pergeseran makna peyoratif. Slamet Mulyono (1964: 32) menerangkan bahwa kemerosotan kata ”perempuan” menurut
pandangan orang Indonesia terutama disebabkan pemakaiannya pada zaman
pendudukan tentara Jepang. Kata ”perempuan” bagi mereka sama nilainya dengan
kata ”pelacur”. Sejak itu
kata perempuan tidak disukai lagi oleh masyarakat pemakai bahasa Indonesia. Jika
kata itu masih digunakan, maka pemakainya semata-mata diperuntukkan menunjuk
jenis kelamin.
Seiring perkembangan zaman, ternyata anggapan
tersebut bergeser. Sekarang kata ”perempuan” justru dianggap sebagai kata yang
mengalami pergeseran makna amelioratif dan kata ”wanita” yang mengalami
pergeseran makna peyoratif. Hal ini terlihat dari penggunaan istilah yang
digunakan dalam kementerian negara yang mengalami perubahan nama. Ketika masa orba
kita mengenal Menteri Peranan Wanita, yang sekarang kita kenal dengan Menteri
Pemberdayaan Perempuan.
Pandangan yang cukup menyakitkan, yakni bahwa kata
wanita bukanlah produk kata asli (induk). Kata ini hanyalah merupakan
hasil akhir dari proses panjang perubahan bunyi (yang dalam studi linguistik
sering disebut gejala bahasa metatesis) dan proses perubahan kontoid dari kata betina.
Urutan prosesnya demikian: mula-mula kata betina menjadi batina;
kata batina berubah melalui proses metatesis menjadi banita; kata
banita mengalami proses perubahan bunyi konsonan (kontoid) dari
[b]-->[w] sehingga menjadi wanita. Maka, memang aneh bin ajaib, bahwa
kata yang demikian kita hormati, bahkan kita letakkan pada tempat tinggi di
atas kata perempuan ini, ternyata berasal dari kata rendah betina.
Alasan kata ”perempuan” dikatakan bernilai rasa
tinggi, yakni: (1) Secara etimologis, kata perempuan berasal dari kata empu
yang berarti 'tuan', 'orang yang mahir/berkuasa', ataupun 'kepala', 'hulu',
atau 'yang paling besar'; maka, kita kenal kata empu jari 'ibu jari', empu
gending 'orang yang mahir mencipta tembang'; (2) Kata perempuan juga
berhubungan dengan kata ampu 'sokong', 'memerintah', 'penyangga',
'penjaga keselamatan', bahkan 'wali'; kata mengampu artinya 'menahan agar
tak jatuh' atau 'menyokong agar tidak runtuh'; kata mengampukan berarti
'memerintah (negeri)'; ada lagi pengampu 'penahan, penyangga,
penyelamat'; (3) Kata perempuan juga berakar erat dari kata empuan;
kata ini mengalami pemendekan menjadi puan yang artinya 'sapaan hormat
pada perempuan', sebagai pasangan kata tuan 'sapaan hormat pada lelaki'.
Hal ini tidak perlu dijadikan bahan perdebatan,
karena bahasa bersifat dinamis, maka sebuah kata yang pada masa tertentu sudah
dianggap bernilai rasa positif atau tinggi dalam perkembangannya bisa saja
tidak dirasakan lagi konotasi tinggi itu.
Nilai rasa bersifat subjektif, ditetapkan oleh
masyarakat pemakai bahasa. Dengan sendirinya, jika suasana zaman atau suasana
kehidupan kemasyarakatan itu berubah, maka nilai rasa bahasa yang digunakan
juga berubah.
keren, pria kuat bertenaga
BalasHapus